Jumat, 20 Februari 2009

Mengejar SPMB = "Sosok Priya Maunya Bunda"

Prolog:

SPMB? Mungkin Kamu seringkali mendengar istilah populer tersebut. SPMB atau singkatan dari Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru merupakan suatu ajang bergensi ya
ng sekitar empat tahun lalu membawa Bee dari Bogor menuju PTN (Perguruan Tinggi Negeri) prestisius di Yogyakarta. Bee lebih senang menyebut SPMB sebagai ajang adu mental, di mana seorang pelajar tidak hanya harus menguasasi materi tertentu, tetapi juga harus pandai-pandai berstrategi. Bukan strategi nyontek tentunya... karena fakta telah menunjukkan betapa teman-teman Bee yang UNAS Matematikanya dapat 10 ataupun 9 sebagai hasil nyontek (dapet bocoran) hanya sebagian kecil yang berhasil menembus ajang SPMB ini. Nah.., pada tulisan kali ini Bee tidak akan bahas soal trik-trik jitu menghadapi SPMB, tetapi Bee menyoroti suatu hal lain yang demikian dekat dengan keseharian Bee (semoga juga keseharianmu). Bee mengangkat wacana mengenai pria idaman orang tua. Dalam hal ini, Bee menyebutnya sebagai SPMB = Sosok Priya Maunya Bunda. Kalau kalian pernah mampir ke blog Bee di multiply.com, tentu saja kalian pernah menemukan tulisan ini. Mungkin kalian bertanya-tanya: "kenapa dipindah?" Bee menjawab: "karena blogspot lebih universal, mudah diakses karena telah memasyarakat."

Baiklah... supaya tidak mengulur waktu lebih lama lagi. Selamat membaca!

----------------
---------------------------------------------------------------------------------
Sesuatu spesial terjadi di hari Rabu terakhir tahun 2008 lalu. Yoiyoi... Di tengah terik panas matahari yang menghujam bumi Bogor kala itu, Bee bertemu dengan dua orang teman dekatnya semasa SMA
dulu. Keduanya pernah duduk sebangku dengan Bee saat kelas 2 dan 3 IPA 6. Mereka adalah Dini dan Dewi. Duo “D” ini bener-bener menjadi kejutan manis Bee di akhir tahun 2008. Mereka melakukan sejumlah perubahan dalam penampilan mereka. Dini yang menyebut namanya dengan “BumbleDee” di Facebooknya, kini sudah berjilbab. Dalam balutan baju muslim gaul, Dee tampak lain hari itu, hari pertemuan kami setelah tiga tahun lebih tidak bertemu. Dan kejutan pertamanya adalah kami memakai sandal gladiator dengan model yang sama, berbeda warna, merk, dan harga (udah pasti punya Bee yang harga ekonomis, lah...). Lalu, Dewi yang datang menyusul dan masih saja terlambat ini, tampil dengan rambut pendek sebahu. Cewe yang satu ini berani juga memangkas rambut hitam pekatnya yang tebal dan panjang sepinggang semasa kelas 3 SMA dulu. Dan lebih nekatnya lagi, dia sampai ngecat rambutnya dengan warna mahogany, wow! Belum lagi alis matanya yang dibentuk, menyisakan sebagian bekas rambut alis yang dicabutinya *mungkin*, serta dandanan yang olalalala...centilnya, membuat Bee dan Dee hanya mampu ketawa-ketiwi melihatnya.

Dalam tiga tahun terakhir, beraneka kisah terjadi pada kami. Pertemuan singkat hari itu tidak cukup mer
angkum kesemua kisah yang kami alami dan ingin kami bagi. Kami seolah-olah saling berlomba untuk menceritakan peristiwa yang sempat dialami. Dewi yang sudah pacaran cukup lama dengan seorang pria di mana bika ambon berasal, disertai polemik perselingkuhannya dengan adik tingkatan di kampus, belum lagi ajakan perselingkuhan yang lain dari salah seorang teman sekelas kami semasa kelas tiga SMA dulu: olalala!. Menyambung kisah cewe centil ini, Bee berbagi kisah kasihnya yang putus-sambung selama 4 tahun dengan pria yang sama, dan mencoba pacaran dengan orang baru yang hanya berlangsung selama kurang dari dua bulan karena sang Cowo diketahui main belakang, hingga akhirnya malah CLBK dengan mantannya, akhirnya Bee putus. Kemudian, kisah seru dialami oleh Dee yang sedari awal diam-diam menghanyutkan. Bukan berarti Dee yang kalem ini diam saja mendengarkan ocehan Bee dan Dewi yang memang cerewet, melainkan di awal tadi Dee lebih banyak menceritakan orang lain – teman-teman SMA juga – yang sudah menikah, beserta gosip-gosip yang menyertai pernikahan mereka. Hohoho... ternyata Dee dijodohkan. Wadaw!

Guna membahas kisah Dee yang menarik ini dan menunggu jam pemutaran film “Bedtime Stories”, siang itu pula kami mengelilingi Botani Square. Tidak cukup naik-turun eskalator, keluar-masuk gerai, kami mengelilingi parkiran dan pelataran yang bisa ditempuh dengan jalan kaki. Kurang kerjaan memang. Hanya saja kami tidak mendapatkan bangku untuk duduk bertiga dan bercerita, hingga akhirnya kami menemukan bangku tersebut dan langsung menyerbunya. Mulailah Dee bercerita tentang izin menikah muda yang diutarakan oleh Ayahnya. Namun, hal ini berbeda dengan sang Bunda, yang memiliki pandangan lain. Demikian halnya, Dee secara pribadi, yang sudah nyaman dengan ke-jomblo-annya saat ini. Dee dikenalkan pada anak salah seorang rekan kerja Ayahnya. Anak sulung dari lima bersaudara
. Pria mapan yang bekerja sebagai PNS. Ya, PNS! Bukan CPNS! Dan, seperti halnya saat mendengar tentang anggota TNI ataupun POLRI, mendengar seseorang bekerja sebagai PNS saja, hati wanita bisa merasa cukup tenteram. Mengapa? Karena bayangannya adalah tunjangan-tunjungan yang sudah pasti diterima selama menjabat sebagai PNS. Kesannya matre, kah? Ya, nggak, lah... itu namanya realistis! Meski uang tidak bisa membeli segalanya (kebahagiaan, kesetiaan, keutuhan rumah tangga, kepercayaan, dan hal-hal immateriil), tapi bukankah penghasilan tetap sang Mantu menjadi dambaan mertua. Lho? Lho?

Saat Dee kian larut dalam kisah kecemasannya akan dinikahkan dalam waktu dekat, paling cepat pasca kelulusannya dari S1, yang artinya tahun ini; pandangan Bee sesekali berpaling ke arah ponselnya. Bee me-reply sms seorang sahabatnya yang lain, berinisial “P”, yang sedang berlibur di Sulawesi, tetapi sibuk dengan aktivitas harian menemani pria
yang diajukan oleh Mamanya sebagai calon pendamping hidup. Kasus “P” berbeda dengan Dee, dalam hal ini beda instansi, hehehe... TNI dan PNS. Bee mampu berkata apa? Selain kalimat yang sama yang meluncur dari bibir mungilnya *lebay!* yang Bee sampaikan baik kepada “P” maupun Dee. “Coba dijalani dulu aja... Memang, sich, usia yang terpaut cukup jauh dengan kita (“P” terpaut 5 tahun dan Dee terpaut 9 tahun) kadangkala membuat kita kurang nyaman saat berpacaran... tapi itu, kan, hanya ketakutan di awal. Sejauh ini, sich, gw sering dibilangin bahwa usia yang terpaut jauh malah bagus saat menikah karena sang Pria bisa ngemong si Wanita. Apalagi wanita, kan, cenderung ingin di-mong.” Dalam hati kecil, Bee serasa mendapat tantangan batin tersendiri menghadapi kata-katanya. Bagaimana mungkin Bee bisa seolah-olah menjamin temannya akan bahagia dengan pria pilihan orang tua mereka, dengan usia yang terpaut cukup jauh lebih tua, dan dengan pengalaman pacaran beda usia yang minim dialami Bee. Yah.., sejauh ini Bee tidak menarik lagi kata-katanya, karena Bee pun mengharapkan hal yang serupa. Bukan Bee mengharapkan akan dijodohkan, tapi Bee berharap menemukan sosok pria dewasa, yang usianya terpaut tiga sampai lima tahun lebih tua darinya. Kenapa lima tahun jadi batasan? Bee ingin pasangannya tidak lebih tua dari sang Kakak yang terpaut enam tahun darinya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------
Mendengarkan kisah sahabat-sahabatnya yang dijodohkan oleh kedua orang tua mereka membuat Bee bersyukur karena orang tuanya tidak demikian. Tidak
atau belum. Haduh! Jangan-jangan mereka secara diam-diam melakukan kongsi perjodohan dengan keluarga mana gitu. Hehehe... Bee mulai menghitung dengan jari muuungilnya *mekso!*: P... Dee... dan T... Wah, sudah tiga sahabatnya yang mengalami kasus semacam ini. Apa yang sebenarnya terjadi pada tahun-tahun belakangan? Sudah cukup tuakah kami sebagai perempuan sehingga kami harus segera memikirkan pernikahan? Lalu, ke manakah nasihat-nasihat semasa kecil dulu tentang kejarlah mimpimu, carilah ilmu ke negeri orang, dan sejenisnya? Di kala kami baru akan menggapai mimpi? Tinggal selangkah lagi, lagi, dan lagi... Oh, migot! Bee terdiam sejenak. Cukup syok membayangkan jika hal tersebut menimpanya, juga membayangkan teman-temannya terpaksa menikah dengan melepas mimpi-mimpi yang belum sempat mereka wujudkan.


-------------------------------------------------------------------------------------------------
Bee
kembali pada posisi sadarnya dan teringat akan perdebatan dengan orang tuanya. Bukan perdebatan yang pertama terjadi. Ini sudah perdebatan kesekian kalinya dan senantiasa terjadi tiap kali Bee mengangkat isu: “Kenapa orang Jawa harus sama orang Jawa, sich?” Perdebatan ini akan selalu berujung pada statement akhir dari ortu yang intinya berbunyi: “Pengalaman mengajari segalanya.” Dan, Bee masih tidak bisa menerima hal tersebut. Bagaimana mungkin kegagalan rumah tangga orang (karena beda budaya) bisa dijadikan tolak ukur kegagalan di masa depan? Dirintis saja belum... Dan pernyataan ini dengan gampangnya dibantah dengan: “Orang berkeluarga itu bukan untuk coba-coba.” Dan dalam hati Bee masih saja gondok dan menggumam: Siapa juga yang berpikir menikah sekedar untuk coba-coba ataupun main-main? Konteks masalahnya, khan, kenapa gue harus membangun rumah tangga dengan orang dari asal budaya yang sama dengan gue. Lalu, tiba-tiba salah satu dari orang tua itu berujar: “Ini soal rasa. Ini soal bahasa. Pribadi manapun cenderung akan memilih orang dengan rasa (budaya) yang sama. Jawa dengan Jawa. Padang dengan Padang. Sunda dengan Sunda. Dan sebagainya. Seperti ada sesuatu yang nyekrup, yang klop, jika berasal dari budaya yang sama.” Bee mulai merasa dirinya sedang diindoktrinasi, meski mungkin Bee malah sudah terindoktrinasi sejak lama, lebih tepatnya sejak Bee mengetahui sang Kakak menyerah untuk mengikuti aturan main kedua orang tuanya. Haruskah aku hidup bersama dengan Sosok Priya Maunya Bunda (SPMB)??? Arrrghhhhh!!!

Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkkkkk!!! Entah sudah berapa kali Bee rasanya ingin berteriak demikian. Okelah, Bee pernah menjalin cinta terlarang (beda agama) selama empat tahun lamanya. Terlarang karena backstreet dari ortu masing-masing, terutama ortu dan keluarga si Cowok. Tapi, secara budaya kami klop. Dia blasteran Sunda-Surabaya. Anakanya
santun dan tekun, tapi tetap saja kami nggak bisa disatukan. Okelah, Bee pernah ada rasa dengan kakak kelasnya semasa SMA. Dua tahun lebih tua darinya. Seiman dan sebudaya, blasteran Wonosari, tapi Bee nggak pernah kenal pribadi pria ini secara intens. Okelah, si Pria Wonosari ini pernah menunggunya selama hampir lima tahun lamanya sampai akhirnya ia menambatkan hati pada gadis lain yang empat tahun lebih muda dan beda agama. Oh, damn! Tau gitu dari dulu gue jadiin ajah! Dan nggak oke-nya, sikap kedua orang tua yang mendiktenya untuk “selalu Jawa” sempat menjadikan Bee terobsesi dengan pria-pria "produksi" Jawa Tengah dan sekitarnya. Sebut saja: Kalibawang, Wates, Jogja, Klaten, Solo, Semarang, Magelang, dan sebagainya *qo malah mirip trayek bis patas yoh?*. Bee mendapatkan satu, tapi hanya jadian selama kurang dari dua bulan. Hasilnya, Bee depresi hebat! Sebulan awal pasca KKN jadi malas kuliah dan nunda-nunda skripsinya. Parah! Segitu berasal dri budaya idaman ortu. Namun, ortu nggak ambil pusing *terkesan nggak peduli* dengan dampaknya. Bee jadi membayangkan mereka berujar: “Itu, kan, salahmu... terlalu cepat menilai orang!” Haruskah masa muda aku habiskan untuk mengejar SPMB? aRRRGGHHHH!!!!

Hingga saat ini, Bee masih menyimpan hasrat terpendam untuk melakukan sejumlah revolusi paham keluarga. Bee ingin membuka sedikit pikiran mereka (orang tua). Bukan dengan mengubah prinsip yang sudah ada, yang dipegang kukuh selama ini,
melainkan dengan memperkayanya. Apa, sich, esensi dari pernikahan dan berkeluarga? Yang Bee tahu bahwa pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan, melainkan juga menyatukan dua keluarga. Ada unsur memperkaya di dalamnya. Bukan sekedar memperkaya kedua pribadi itu sendiri, melainkan memperkaya kedua keluarga yang ikut terikat di dalamnya. Bukankah siapa pun ingin menjadi kaya? Lebih dari sekedar kaya harta, yang lebih ditujukan pada kaya sebagai pribadi dalam iman dan perbuatan nyata. Kaya akan iman yang diyakini oleh setiap pribadi bahwasanya Allah Bapa menciptakan laki-laki dan perempuan supaya mereka saling melengkapi (kutipan Kitab Kejadian). Dan juga akan keyakinan bahwa setiap pribadi lahir sebagai individu dengan kehendak bebas yang dianugerahkan oleh Bapa Surgawi sendiri. Lalu, ke manakah kehendak bebas itu? Yang Bapa Surgawi sendiri berani mempercayakannya kepada setiap manusia, tetapi manusia malah membatasi manusia lainnya. Ini soal cinta dan soal rasa. Ini soal perasaan nyaman dan kepercayaan. Ini soal membangun kebersamaan, kesamaan visi dan cita-cita hidup. Ini persoalan hebat yang dipercayakan Allah kepada setiap insan ciptaanNya, lebih dari apa yang diusahakan dan dilakukan orang tua terhadap anaknya dengan menyodorkan “Sosok Priya Maunya Bunda.”

Lagi, yang Bee tahu pernikahan itu sebuah lembaga. Wadah yang menyatukan dua pribadi dalam ikatan suci sehidup semati. Sebuah rantai yang hidup untuk menghidupkan. Maksudnya gini... dengan menyatunya dua pribadi, maka kedua rantai yang semula “ujungnya putus” bisa disambungkan dengan “ujung rantai” yang diketemukannya kemudian dan dipilihnya sebagai yang paling tepat. Kedua rantai hidup ini saling menyatu hingga kemudian menghasilkan kehidupan yang baru, yakni buah-buah hidup berkeluarga, seperti anak-anak yang lucu yang dianugerahkan Tuhan. Bukankah sejak lahir kita tidak dipesankan rantai yang bisa langsung match dengan rantai kita? Bahwa rantai yang berpasangan dengan rantai kita itu masih misteri saat kita lahir. Bahwa rantai itu ditemukan melalui proses pencarian di sepanjang perjalanan hidup ini sedari kecil hingga dewasa. Bahwa ra
ntai itu tidak datang dengan sendirinya, tetapi kita yang mencarinya. Ingat: MENcari, bukan Dicarikan! Lantas, bagaimana mungkin orang tua melakukan stardardisasi atas (misalnya) rantai ideal untuk anaknya, sementara bukan anaknya sendiri yang mencarinya... hingga kemudian orang tua merasa mantap dan pas akan pilihan bagi anaknya itu? Semua kembali lagi kepada sesuatu yang hakiki dari kehidupan: manusia diciptakan sebagai pribadi dengan kehendak bebas. Bebas tidak berarti semaunya, Bee rasa siapa pun tau itu. Bebas berbuat, ya sudah tentu harus berani bertanggung jawab setelahnya.

Lalu, jika kita harus berperan aktif dengan MENcari, bagaimana dengan pepatah Jawa: witting trisno jalaran soko kulino (cinta datang karena terbiasa)? Bee justru melihat ini juga sebagai bagian dari proses MENcari itu tadi. Kok, bisa? Ya, bisa! Kedua individu yang dig
ambarkan oleh pepatah tadi itu mengalami proses pencarian satu terhadap yang lain. Keduanya berusaha untuk saling menyelami pribadi satu sama lain. Mereka tidak diam saja dan menunggu takdir memisahkan satu akan yang lain. Hanya saja, jika mereka dipertemukan melalui jalan perjodohan, ya sudah tentu bertentangan dengan argumentasi Bee sejak awal yang tidak setuju akan SPMB=Sosok Priya Maunya Bunda. Tidak setuju akan sebuah pilihan yang dipaksakan sekedar untuk membuat orang tua senang yang dilakukan sebagai penebus utang budi. Tidak setuju karena semua itu dilakukan secara terpaksa, yang malahan membawa kita pada obsesi berlebihan Hidup sudah cukup rumit, tinggal pandai-pandainya kita mengecap kenikmatan dan memaknai kebahagiaan yang terjadi dalam setiap prosesnya, dan menjadikan kerumitan ini tampak sederhana. Life simply, do many!


-------------------------------------------------------------------------------------------------
Melalui tulisan ini, Bee hendak berbagi pikiran, lebih tepatnya mengemukakan u
neg-uneg Bee tentang pola pikir orang tua yang kadangkala merasa mereka pernah muda, sehingga lebih kaya pengalaman dari anaknya. Orang tua yang menganggap pemikiran mereka itu mendekati dogma: yang baik buat kami, baik buat kamu. Bahwa apa yang baru akan kamu hadapi itu sudah pernah kami alami sebelumnya. Jika mereka memang pernah muda, tunjukkan, dong, toleransinya terhadap yang muda. Bukankah kita sama-sama dilahirkan sebagai pribadi dengan kehendak yang bebas? Bukankah kita sama-sama belajar dari kehidupan dan mengalami prosesnya meski dengan cara dan pada situasi yang berbeda? Zaman senatiasa berganti dengan zaman yang lain, paham-paham baru senantiasa berkembang, bagaimana mungkin hari ini sama dengan hari esok, sementara kemarin dan hari ini pun kita tumbuh sebagai pribadi yang semakin tua dan bertambah dewasa?


-------------------------------------------------------------------------------------------------

Akhir kata,
Boleh saja Sosok Priya Maunya Bunda (SPMB) menjadi sasaran yang Anda, juga Bee, targetkan (dan kejar) dalam hidup ini. Namun, satu hal yang perlu diingat adalah lakukan semua itu atas nama cinta. Cinta kita kepada orang tua meneguhkan mereka bahwasanya pilihan apa pun yang kita ambil, sedikitpun tidak berniat mengecewakan mereka. Sejak kecil, kita sudah diberi tahu akan apa yang baik dan tidak baik, hingga kita pun diharapkan mampu bertanggung jawab atas pilihan yang kita ambil. Sekali lagi, cinta itu soal rasa. Jika bukan kita secara pribadi yang merasakannya, bagaimana kita tahu cinta itu tepat untuk kita? Pernyataan Bee ini tidak bermaksud melanggengkan perbuatan “coba-coba” bermain dengan cinta; melainkan memotivasi Anda, juga Bee, untuk lebih peka akan rasa yang datang mengisi hidup kita. Berilah ruang bagi cinta itu tumbuh. Berilah ruang bagi setiap pribadi untuk menemukan cinta sejatinya, menentukan pilihan hatinya. Bukankah kebahagiaan kita kelak akan menjadi kebahagiaan orang tua juga?


Apakah itu cinta?

Hanya kamu dan hatinya, juga dia dan hatimu, yang akan mampu memberi jawabnya.



Apakah Kamu semakin mantap untuk berhadapan dengan ortumu (juga ortunya) demi memperjuangkan cinta kalian? Ataukah Kamu malah tertarik untuk melirik Bee? *LoL*


Finally,
GO REACH THE ONE YOU LOVE!

0 komentar: